Senin, November 10, 2008

Gasing yang Menari

Senin kemarin, kami trio dangdut, aku, Babi dan Kuprul hang out (gantung-gantungan) ke J.Co Malioboro. Kebetulan aku sudah kadung janji buat menyuapi bocah-bocah itu dengan donat-donat dan secangkir minuman pelengkap hanya agar mereka tenang dan kenyang. Setelah selesai makan, mengobrol soal bos-bos, Jembrana, Ambon dan Islam liberal, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya mall Malioboro tutup. Waktunya kami akan segera diusir jika masih mengoceh gratis di J.Co hanya dengan memesan makanan alakadarnya. Setelah pamit, maka kami bertiga duduk-duduk di tangga mall
(Aku sangat tidak nyaman menyebut kata "mall" ini. Aku sangat tidak suka mall. Kalaupun aku ke mall ku pastikan itu hanya untuk ke 21 ataupun jika keadaan benar-benar mendesak. Mall menurut definisiku adalah tempat untuk menilai orang lain dan dinilai orang lain yang sama sekali tidak kita kenal, dan aku selalu merasa kalah ketika proses menilai dan dinilai itu terjadi. Mall menampilkan sosok-sosok manusia yang terang benderang, wangi dan rupawan. Sekacau apapun dan selebat atau sebecek apapun di luar sana, orang yang ke mall tetaplah tampil trendi dan wangi. Ah, sungguh aku menyerah kalah).

Nah, di depan mall yang telah tutup itu, ketika langit masih memuntahkan hujan, kami bertiga mendapat mainan menarik. Ada penjual gasing dan seruling bambu yang kebetulan malam itu sedang berjualan. Sontak Si Kuprul langsung menghambur dengan hati riang menuju penjual gasing, yang setelah ngobrol-ngobrol ternyata berasal dari Wonosari, Gunungkidul, kabupaten termiskin di Yogya dan ia ternyata sempat bertahun-tahun kerja di Bandung. Gasingnya unik, ada lubang di tengah-tengah gasing sehingga pada saat dimainkan akan mengeluarkan suara yang "ngnnn...nggggg". Maka ikutlah aku pada keasyikan Si Kuprul dan kemudian juga turut serta membeli gasing yang cuma dihargai 5 ribu rupiah. Si Babi sepertinya tak terlalu tertarik dengan gasing-gasing ini. Superegonya terlalu kuat sehingga masih bisa mengontrol sikapnya agar tak malui-maluin seperti aku dan Kuprul. Sungguh asik permainan ini. Kita tinggal memilin benangnya dengan tepat dan kemudian tarik. Maka dengan segera gasing itu akan berputar-putar meliuk-liuk, menyusuri ubin trotoar mall, melewati kolong rok serta kaki-kaki orang yang lewat. Sungguh indah. Maka gasing itu kubawa pulang, dimasukan ke jaket. Hanya usaha untuk tidak meminta plastik. Mungkin sekarang gasing tidak lagi dikenal oleh adik-adik kita yang lebih akrab dengan PS dan gear-gear yang keren. Gasing kemudian dianggap sejalan dengan kekalahan terhadap kemajuan. Atau kalaupun masih ada, paling hanya ditemukan di Museum Kolong Tangga di Jogja. Ah, apapun itu, bagiku benda yang berputar-putar ini tetap menarik. Aku lupa sudah lama mataku tidak berbinar-binar seperti itu. Ibarat anjing yang menemukan tulangnya. Terima kasih pada bapak Wonosari yang pernah kerja di Bandung yang mungkin sempat menjelma malaikat yang kembali ke bumi dan berbaik hati mengenalkan aku pada gasing yang menari.

3 yg ikut nimbrung:

Mokhamad Rifqie mengatakan... @ 10 November 2008 pukul 20.50

Aku sangat tidak nyaman menyebut kata "mall" ini. Aku sangat tidak suka mall. Kalaupun aku ke mall ku pastikan itu hanya untuk ke 21 ataupun jika keadaan benar-benar mendesak. Mall menurut definisiku adalah tempat untuk menilai orang lain dan dinilai orang lain yang sama sekali tidak kita kenal, dan aku selalu merasa kalah ketika proses menilai dan dinilai itu terjadi. Mall menampilkan sosok-sosok manusia yang terang benderang, wangi dan rupawan. Sekacau apapun dan selebat atau sebecek apapun di luar sana, orang yang ke mall tetaplah tampil trendi dan wangi. Ah, sungguh aku menyerah kalah).


POSTINGANMU KALI INI NENDANG BGT DHE SUMPAH!!!

Anonim mengatakan... @ 10 November 2008 pukul 22.14

sayangnya saya mengenal kuprul...dan bahkan pernah satu atap utk dua tahun :)

lam blogger :)

Ade Candra mengatakan... @ 11 November 2008 pukul 18.45

@ Rifki: Nendang kayak Jackie Chan yak
@ Fikri: Ya...kuprul yg itu

Posting Komentar