Rabu, Oktober 29, 2008

Saya dan Tukang Cukur

Saya kecil tak pernah mengenal membayar untuk dicukur rambutnya. Saya kecil biasanya tinggal bilang ke ayah jika ibu saya sudah mulai cerewet melihat rambut saya yang mulai gaduh. Maka dengan segera ayah saya akan membawa keluar kursi di dapur dan meminjam gunting yang biasa digunakan ibu untuk menjahit dan tak lupa sisir besar. Dan yang saya lakukan kemudian hanyalah segera buka baju dan menghambur ke arah ayah yang telah menunggu saya di depan garasi. Lengkap dengan peralatan cukurnya. Memang hasil cukuran ayah sangat out of date, bahkan untuk ukuran saya yang saat itu masih SD. Tak heran gaya rambut saya tak pernah berubah. Tapi tak mengapa. Saya suka.
Biasanya sekali sebulan, pada hari Jumat, saya menemani ayah cukur rambut di tukang cukur depan komplek. Saya hanya melihat bagaimana tukang cukur itu menggunakan gunting dengan lihai, kepala ayah dipijat, kumis (pada saat itu ayah saya masih punya kumis, sekarang jenggot) dirapikan, tampak ayah nyaman. Namun tetap saya tak berminat untuk dicukur selain oleh ayah. Ini berlanjut sampai SMP.
Pada saat SMA, saya mulai mencoba tukang cukur di depan komplek. "Kapan lagi, mencoba gaya baru". Maka setelah itu saya adalah pelanggan tetap tukang cukur tersebut. Enam ribu rupiah. Namun, tak segampang itu saya bisa segera mau dicukur di tempat cukur. Berkali-kali saya balik ke rumah dengan colak (bhs. minang). Geli, kata saya ketika ibu bertanya.
Ketika saya merantau ke Jogja, maka tempat cukur pertama yang saya coba adalah Kompak (dengan slogan tempat cukur cowok cerdas). Empat ribu rupiah. Sekali-kali saya coba ke tukang cukur Suroboyo di dekat Gramedia. Lima ribu rupiah namun antrinya sungguh melelahkan. Akhirnya saya kembali ke Kompak, tempat cukur cowok cerdas. Saya tak pernah punya keinginan sedikitpun untuk menyerahkan rambut saya untuk dicukur di salon. Geli. Namun, pernah sekali saya mencoba "Barbershop" di Gejayan. Dan untuk pertama kalinya dan nampaknya sekaligus yang terakhir kalinya, rambut saya dikeramas. Sangat tidak nyaman dan hasilnyapun tak seperti yang saya harapkan. Terlalu canggih untuk gaya saya. Mahal pula. tiga belas ribu rupiah dan saya tak pernah kembali. Seperti mudah ditebak, saya kembali ke Kompak, tempat cukur cowok cerdas. Hehe.

1 yg ikut nimbrung:

Mokhamad Rifqie mengatakan... @ 30 Oktober 2008 pukul 07.02

itu kebetulan aja barbershopmu yg payah dhe...

aq malah prnh ke barbershop dmn isinya homo semua!!!bangsat...

cb ke my salon, di atas bulletin yg di uny tu loh...

kmrn nemenin tatak potong, nd daku berakhir dicreambath jg hiks5...

tapi dhe, bnr2 feels like heaven capek penat semua ky menguap, selain dicreambath, dipijit juga soale...

murah meriah!!!sejam treatment 12rb perak, apalagi bwt salon kelas internasional ky my salon gt...

Posting Komentar