Jumat, Oktober 03, 2008 |
Laskar Pelangi |
Laskar pelangi release tanggal 25 September 2008 di beberapa kota di Indonesia. Sebagai penggemar novel Laskar Pelangi (my books have been signed by Andrea hirata), saya kecewa tidak bisa nonton premier. Apa sebab? Tak lain dan tak bukan adalah tiket yang saya pesan tanggal 25 bukan tiket bioskop namun tiket mudik ke Padang. Apa lacur, pada saat temen-temen saya antre di 21 sambil megang popcorn, saya harus membawa ransel Carel seberat 15 kilo dan tumpukan J.Co dua lusin. Dan kenapa saya begitu misuh-misuh karena sedang ada di Padang? karena di Padang tidak ada 21!!! Yeah, saya tahu itu memalukan. Sekali lagi....GAK ADA 21 DI PADANG...Saudara-saudara. The biggest cinema here is Raya Sinema, disebelah SMA saya. Raya Sinema harga tiketnya sama dengan 21 di Jogja, kecuali soal film2nya.
Nah, berhubung saya baru balik ke Jogja tanggal 9 Oktober ini, maka untuk sementara saya hanya bisa gigit jari di depan teve. Dan kemarin di Apa Kabar Indonesia Malam di TVOne, ada bincang-bincang seputar film Laskar Pelangi. Beberapa penelepon berkomentar bahwa filmnya ternyata tidak seperti bukunya, banyak adegan yang tidak sesuai bayangan...bla...bla....dan Kompas juga sempat memberikan review yang kurang bagus untuk film ini. Terus terang untuk Kompas, saya tidak pernah mempercayakan review Kompas untuk film2. Maka review yang ditulis Kompas tidak menghilangkan keinginan saya untuk tetap memburu tiket bioskop sekembalinya di Jogja.
Pembaca novel tidak boleh egois.
Pembaca novel ini dan yang mengakuinya tidak boleh egois. Film ini dibuat bukan hanya untuk para pembacanya, namun juga untuk kalangan yang lebih luas. Oleh karena itulah, Riri mengatakan ia berkali-kali membaca novel ini untuk menemukan gagasan utama dalam novel itu. Saya justru tidak setuju jika film ini kemudian hanya menjadi penerjemah visual mentah-mentah novel tersebut. Novel adalah karya novelis, penulis dengan target pembaca yang terbatas pada mereka yang suka baca, melek aksara, punya waktu luang cukup dan faktor2 lainnya. Sedangkan film adalah media visual yang bisa menembus semua kalangan. Saya sepakat bahwa film ini harus ditonotn oleh semua anak-anak di Indonesia beserta orangtuannya, para pejabat2, anak-anak yang selama ini malas membaca, atau orang-orang yang tidak bisa dijangkau oleh sebuah novel. Untuk itulah film ini menurut saya bekerja. Dan sebagai penggemar novel Laskar Pelangi, saya merasa tidak masalah jika kemudian filmnya agak sedikit berbeda (dalam batasan tertentu) dari novelnya. Saya ingat ketika dulu baca Lord of The Ring dan kemudian menonton filmnya. Saya awalnya kecewa. Karena pada saat itu yang saya harapkan adalah sebuah film yang takluk pada novelnya. Namun setelah berkali-kali menontonnya maka justru barulah saya bisa memahami gagasan dan pesan-pesan dari Tolkien dalam novelnya. Peter Jackson membantu saya untuk memahami Tolkien dan begitupun sebaliknya.
Sekali lagi, bagi mereka yang mengaku-aku sebagai penggemar setia novel Laskar Pelangi dan kemudian misuh-misuh karena filmnya tidak seperti yang ia harapkan. I Just wanna say that this movie is not made only for you. But for a wider audience that a book can not reach.
Nah, berhubung saya baru balik ke Jogja tanggal 9 Oktober ini, maka untuk sementara saya hanya bisa gigit jari di depan teve. Dan kemarin di Apa Kabar Indonesia Malam di TVOne, ada bincang-bincang seputar film Laskar Pelangi. Beberapa penelepon berkomentar bahwa filmnya ternyata tidak seperti bukunya, banyak adegan yang tidak sesuai bayangan...bla...bla....dan Kompas juga sempat memberikan review yang kurang bagus untuk film ini. Terus terang untuk Kompas, saya tidak pernah mempercayakan review Kompas untuk film2. Maka review yang ditulis Kompas tidak menghilangkan keinginan saya untuk tetap memburu tiket bioskop sekembalinya di Jogja.
Pembaca novel tidak boleh egois.
Pembaca novel ini dan yang mengakuinya tidak boleh egois. Film ini dibuat bukan hanya untuk para pembacanya, namun juga untuk kalangan yang lebih luas. Oleh karena itulah, Riri mengatakan ia berkali-kali membaca novel ini untuk menemukan gagasan utama dalam novel itu. Saya justru tidak setuju jika film ini kemudian hanya menjadi penerjemah visual mentah-mentah novel tersebut. Novel adalah karya novelis, penulis dengan target pembaca yang terbatas pada mereka yang suka baca, melek aksara, punya waktu luang cukup dan faktor2 lainnya. Sedangkan film adalah media visual yang bisa menembus semua kalangan. Saya sepakat bahwa film ini harus ditonotn oleh semua anak-anak di Indonesia beserta orangtuannya, para pejabat2, anak-anak yang selama ini malas membaca, atau orang-orang yang tidak bisa dijangkau oleh sebuah novel. Untuk itulah film ini menurut saya bekerja. Dan sebagai penggemar novel Laskar Pelangi, saya merasa tidak masalah jika kemudian filmnya agak sedikit berbeda (dalam batasan tertentu) dari novelnya. Saya ingat ketika dulu baca Lord of The Ring dan kemudian menonton filmnya. Saya awalnya kecewa. Karena pada saat itu yang saya harapkan adalah sebuah film yang takluk pada novelnya. Namun setelah berkali-kali menontonnya maka justru barulah saya bisa memahami gagasan dan pesan-pesan dari Tolkien dalam novelnya. Peter Jackson membantu saya untuk memahami Tolkien dan begitupun sebaliknya.
Sekali lagi, bagi mereka yang mengaku-aku sebagai penggemar setia novel Laskar Pelangi dan kemudian misuh-misuh karena filmnya tidak seperti yang ia harapkan. I Just wanna say that this movie is not made only for you. But for a wider audience that a book can not reach.
1 yg ikut nimbrung:
asem pny blog br ndak bilang bilang..
Posting Komentar